A. Latar
belakang
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah
prinsip trias politica
yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar
ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol. Oleh karena
itu agar kalangan intelektual terutama mahasiswa sebagai calon pengganti
pemimpin bangsa di masa mendatang memahami makna serta kedudukan demokrasi yang
sebenarnya maka harus dilakukan suatu kajian yang bersifat ilmiah.
B. Pembahasan
dan Isi
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar
1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam
mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana
MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki
seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme
perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi
singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu
bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi
terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila,
sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto,
Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan
junta
militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia
terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak
dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya.
Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi
tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan
mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari
hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia,
yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang
dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan
Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila.
Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi
yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah
memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik
warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat
rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada
tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia
akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998.
Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil
dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis.
Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998
di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat
menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan
kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist
hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan
pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju
konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena
masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan
berupaya menjawab pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan
di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang
Pragmatis
Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa,
rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke
perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang
sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen
UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi
ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain.
Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial
di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit
yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang
korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun
elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk
mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya
kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan
munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi
pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang
diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya
pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum
munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi
sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi
non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya
terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan
sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih
merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan
demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di
tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi.
Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah
kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal
ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat
apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan
di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan
mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan
hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi
keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai
demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat
hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya
memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia?
Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga
belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia,
apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan
diatas, penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai
sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah
nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi,
para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat
mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain
itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar
tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
C.
Kesimpulan
Demokrasi di Indonesia
yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan
negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat mengkonsolidasikan
demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi akhirnya memang
sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus diciptakan untuk
memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan masyarakat politik yang
otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan birokrasi yang mampu
menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk
memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu menghasilkan
alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan memantau pemerintah dan
negara ketika menjalankan kekuasaannya.
D.
Daftar
pustaka
2. http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/27/demokrasi-dan-sejarahnya/