Perbankan nasional kembali diguncang kasus.
Adalah Bank Century yang pada akhir November 2008 diselamatkan pemerintah,
karena dianggap berpotensi memicu krisis sistemik, menyusul kalah kliring yang
dialaminya. Mengenai masalah gagal kliring Bank Century, Boediono (Gubernur BI)
waktu itu menegaskan bahwa hal itu disebabkan oleh faktor teknis berupa
keterlambatan penyetoran prefund.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati, keputusan menyelamatkan Bank Century pada tanggal 21 November 2008
adalah untuk menghindari terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang
dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dahsyat dari 1998, dengan meminimalkan
ongkosnya dan dikelola oleh manajemen yang baik maka Bank Century punya potensi
untuk bisa dijual dengan harga yang baik. Maka, mulai hari jumat 21 November
2008 PT. Bank Century telah diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
untuk selanjutnya tetap beroperasi sebagai Bank Devisa penuh yang melayani
berbagai kebutuhan jasa erbankan bagi para nasabah. Pengambilalihan Bank
tersebut oleh Lembaga Pemerintah ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah. Tim manajemen baru yang
terdiri dari para professional telah ditunjuk hari itu juga untuk mengelola dan
meningkatkan Kinerja Bank.
Meskipun sudah diambil alih pemerintah melalui
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), bank yang membukukan laba Rp 139 miliar per
semester pertama 2009 tersebut, kini disoroti DPR dan public. Pangkal
persoalannya adalah kucuran dana talangan hingga mencapai Rp 6,762 trilliun
yang dianggap terlampau besar dan tidak procedural, serta adanya potensi moral
hazard demi melindungi dana milik deposan kakap yang disimpan di bank itu.
Bank hasil merger Bank Pikko, Bank Danpac,
serta Bank CIC pada 2004 tersebut mengalami kemunduran kinerja secara kronis,
sehingga perlu dana talangan. Berdasarkan data LPS, pada rentang waktu 20-23
November 2008, suntikan dana mencapai Rp 2,776 triliun, untuk menutup kebutuhan
modal agar rasio kecukupan modal terdongkrak hingga 10 persen. Tak lama
berselang, yakni pada 5 Desember 2008, kembali disuntik Rp 2,201 triliun.
Dengan demikian dalam rentang 15 hari total dana talangan yang disuntikan
mencapai Rp 4,977 triliun. Tak berhenti disitu, dana talangan terus mengucur
yakni pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,155 triliun, disusul pada 21 Juli 2009
sebanyak Rp 630 miliar. Total dana suntikan (bailout) menjadi Rp 6,726 triliun.
Suatu jumlah yang fantastis dan tidak mengherankan jika kini disoroti, dan DPR
menuntut pertanggungjawaban pemerintah, LPS dan Bank Indonesia (BI).
Mengurai persoalan yang kini menghangat kita
harus menengok ke belakang. Perlu diketahui, pemegang saham pengendali Bank
Century adalah Rafat Ali Rizvi dan Hesyam Al Warraq. Adapun pemegang saham
mayoritasnya Robert Tantular. Setelah merger ternyata tidak ada perbaikan.
Sejak 2005 hingga 5 November 2008, bank itu bolak balik masuk pengawasan intensif
BI. Penyebabnya adalah exposure pada surat berharga valuta asing (valas) bodong
atau tidak berperingkat senilai US$ 203 juta, serta asset tidak produktif
senilai Rp 477 miliar, yang menekan modal bank.
Sebagai tindak lanjut pengawasan intensif BI meminta
bank menjual tunai surat berharga valasnya paling lambat akhir Desember 2005.
Namun, bank mengajukan proposal penyelesaian melalui skema penjaminan tunai
(assets management agreement/ AMA), dan disetujui BI pada 21 Februari 2006.
Kemudian BI juga meminta bank menambah modal Rp 500 miliar. Permintaan ini
dipenuhi pemilik bank sebesar US$ 10,5 juta dan US$ 14,85 juta. Terakhir bank
melakukan right issue dan meraup dana Rp 442 miliar.
Namun semua itu sia-sia, Bank Century semakin
terperosok sehingga masuk status pengawasan khusus pada 6 November 2008.
Berdasarkan pemeriksaan berjalan (assessment) BI per 30 September 2008, rasio
kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) turun ke posisi 2,35 persen.
Kondisi ini juga diperburuk oleh turunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank,
khususnya deposan besar, seperti Sampoerna dan PT Timah, yang menarik
depositonya pada juli 2008, dan berlanjut menjadi penarikan dana besar-besaran
(rush). Dalam rentang November hingga Desember 2008, total simpanan yang ditarik
mencapai Rp 5,67 triliun.
1. B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang kasus
tersebut di atas penulis dapat mengemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dampak dari kasus bank Century
terhadap perekonomian?
2. Bagaimanakah tinjauan hukum (aspek pidana)
kasus bank Century tersebut?
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban tindak pidana
korporasi di bidang perbankan?
1. A. Dampak Dari Kasus Bank
Century Terhadap Perekonomian
Bank Indonesia (BI) membeberkan alas an
terkait keputusan BI saat memberikan predikat bank gagal dan berpotensi
sistemik, sehingga harus diserahkan kepada LPS. Akibatnya LPS harus meraguh
kocek hingga Rp 6,7 triliun untuk menyelamatkan bank tersebut.
Ada 5 (lima) criteria bank century masuk
kategori sistemik antara lain :
1. Menimbulkan dampak terhadap sector riil jika
bank century ditutup. Dalam parameter pertama itu Bank century yang memiliki 65
ribu nasabah tersebut memang tidak berdampak luas. Istilahnya low impact. Tapi
ini hanya salah satu parameter.
2. 2. Menimbulkan dampak terhadap bank-bank lain
jika Bank Century ditutup. Dalam parameter tersebut BI menilai imbasnya bias
sangat besar. Sebab data BI menunjukkan saat Bank Century sekarat (November
2008), ada beberapa bank kecil yang memiliki exposure besar di Bank Century.
Artinya, dana bank-bank tersebut kecantol di Bank Century melalui fasilitas
Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Berdasarkan kalkulasi BI jika dana bank-bank
tersebut tidak bias kembali, bank-bank itu bakal mengalami kesulitan
likuiditas, rasio kecukupan modal (CAR)-nya turun, dan akhirnya harus masuk
dalam pengawasan khusus. Jika bank-bank tersebut masuk pengawasan khusus,
bank-bank lain yang memiliki exposure juga akan demikian. Karena itu, bisa
menimbulkan efek berantai ke seluruh perbankan.
3. 3. Menimbulkan dampak pada pasar keuangan yakni
pasar obligasi pemerintah dan bursa saham. Kalau century ditutup, ada bank lain
bermasalah. Karena bank lain itu mempunyai exposure SUN cukup besar, sehingga
SUN harus dijual. Itu akan menggoyangkan pasar SUN karena terjadi penjualan
besar-besaran. Kalau bank-bank tadi adalah listed company ( perusahaan tercatat
dibursa saham ) itu akan menggoyang pasar saham.
4. 4. Menimbulkan dampak kepada system pembayaran
antar bank. Kalau ditutup, bank-bank lain yang memiliki tagihan ke Bank Century
sulit menagih dan ini tidak dijamin. Ini bisa mengakibatkan system pembayaran
chaos. Dalam artian adanya imbas psikologis masyarakat jika Bank Century
ditutup. Semua menunjukkan imbasnya mulai medium to high impact hingga high
impact.
5. 5. Sejak pertengahan 2008, saat krisis ekonomi
global mulai menghebat system keuangan di Indonesia mengalami tekanan hebat.
Dana perbankan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang biasanya mencapai Rp 200
triliun tiba-tiba menyusust tinggal Rp 89 triliun.
Artinya ada indikasi penarikan dana masyarakat
dari bank dalam jumlah besar. Untuk membayar itu, bank harus mencairkan dana
mereka yang disimpan di SBI.
Indikator lain anjloknya dana deposito masyarakat. Akibatnya untuk menarik dana masyarakat bank mulai menaikkan suku bunga simpanan hingga terjadi perang suku bunga. Bahkan bank-bank besar yang sebelumnya menjadi supplier dalam fasilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAb) mulai menahan dana. Hal itu mengakibatkan bank-bank kecil dan menengah mengalami kesulitan likuiditas. Saat itu PUAB sangat tegang. Selain itu resiko gagal kredit ( credit default swap) Indonesia melonjak dari angka normal 200 basis poin (bps) menjadi 1.400 bps. Ditambah pencairan dana investor asing sekitar USD 6 miliar. Intinya ada tekanan besar di pasar uang.
Indikator lain anjloknya dana deposito masyarakat. Akibatnya untuk menarik dana masyarakat bank mulai menaikkan suku bunga simpanan hingga terjadi perang suku bunga. Bahkan bank-bank besar yang sebelumnya menjadi supplier dalam fasilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAb) mulai menahan dana. Hal itu mengakibatkan bank-bank kecil dan menengah mengalami kesulitan likuiditas. Saat itu PUAB sangat tegang. Selain itu resiko gagal kredit ( credit default swap) Indonesia melonjak dari angka normal 200 basis poin (bps) menjadi 1.400 bps. Ditambah pencairan dana investor asing sekitar USD 6 miliar. Intinya ada tekanan besar di pasar uang.
1. B. Tinjauan Hukum (Aspek Pidana)
Kasus Bank Century.
1. Tindak Pidana Penggelapan
Penyebab lain ambruknya Bank Century adalah
penipuan oleh pemilik dan manajemen dengan menggelapkan uang nasabah. Mereka
adalah Robert Tantular, Anggota Dewan Direksi Dewi Tantular, Hermanus Hasan
Muslim dan Laurance Kusuma serta pemegang Saham yaitu Hesham Al Warraq Thalat
dan Rafat Ali Rijvi. Pengelapannya dilakukan dengan beberapa cara. Pertama,
memanfaatkan produk reksa dana fiktif yang diterbitkan PT Antaboga Delta
Sekuritas Indonesia yang dijual terselubung di Bank Century. Kedua, menyalurkan
sejumlah kredit fiktif. Ketiga, menerbitkan letter of Credit ( L/C ) Fiktif.
Modusnya yaitu pemilik Bank Century membuat perusahaan atas nama orang lain
untuk kelompok mereka. Lantas mereka mengajukan permohonan kredit, tanpa
prosedur semestinya serta jaminan yang memadai mereka dengan mudah mendapatkan
kredit. Bahkan ada kredit Rp. 98 Milyar yang cair hanya dalam 2 (dua ) jam.
Jaminan mereka tambahnya hanya surat berharga yang ternyata bodong.
Selain itu Robert Tantular juga
menyalahgunakan kewenangan memindah bukukan dan mencairkan dana deposito valas
sebesar Rp. 18 Juta Dollar AS tanpa izin sang pemilik dana, Budi Sampoerna.
Robert juga mengucurkan kredit kepada PT Wibowo Wadah Rezeki Rp. 121 Milyar dan
PT Accent Investindo Rp. 60 Milyar. Pengucuran dana ini diduga tidak sesuai
prosedur. Robert Tantular juga melanggar Letter Of Commitmen dengan tidak
mengembalikan surat – surat berharga Bank Century di luar negri dan menambah
modal Bank.
2. Permasalahan yang mencuat
a. Bahwa masalah di Bank Century
disebabkan lemahnya Bank Indonesia mengawasi pengoperasian perbankan nasional,
sehingga merugikan keuangan Negara. BI dinilai lalai dalam pengawasan, sehingga
direksi dan pemilik Bank Century sejak 2005 leluasa melarikan dana milik
nasabah ke luar negri melalui penerbitan Obligasi bodong.
b. DPR merasa dilangkahi
pemerintah, karena pemerintah dan DPR hanya bersepakat mengeluarkan dana rekap
sebesar 1,3 Trilyun, nyatanya 6,7 trilyun.
c. Pengambilalihan Bank Century
oleh pemerintah melalui LPS tidak memiliki konsep yang jelas dan akan
menimbulkan kerugianyang cukup besar.Dana yang dikeluarkan LPS dalam upaya
penyehatan Century yang mencapai Rp. 6,77 Trilyun dapat dipastikan tidak akan
bisa kembali. Dan akan menimbulkan kerugian yang besar, artinya upaya LPS
memperetahankan deposan – deposannya tidak lari gagal.
d. Saat ini muncul dugaan dana
rekap Bank Century bukan hanya 6,7 trilyun tetapi mencapai hingga 9 Trilyun.
3. Penyelesaian
a. Masih banyak misteri yang
melingkupi kasus penyelamatan Bank Century. Karena itu audit investigasi BPK
harus dilakukan dengan tuntas. Jangan sampai ada penumpang gelap yang bermain
dengan mengatasnamakan penyelamatan ekonomi nasional. Misteri itulah yang
ditindaklanjuti komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dengan meminta Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terhadap bank. Tidak hanya
KPK, DPR pun minta KPK mengaudit proses bailout tersebut. Itu karena sebelumnya
DPR pada tanggal 18 Desember 2008 telah menolak peraturan pemerintah pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang jaringan pengaman sector
keuangan (JPSK) sebagai payung hukum dari penyelamatan bank milik pengusaha
Robert Tantular itu.
b. Pemerintah terus memburu asset
Robert Tantular dan pemegang saham lainnya di luar negeri dengan membentuk tim
pemburu asset. Tim ini beranggotakan staf Departemen Keuangan, Markas Besar
Polri, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisa
Transaksi Keuangan, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, serta Departemen
Hukum dan Hak Azasi manusia. Untuk di dalam negeri jumlah asset yang disita
polisis terkaitb kasus tindak pidana perbankan di Bank Century sebesar Rp 1,191
miliar. Sementara di luar negeri, polisis berhasiul menemukan dan memblokir
asset milik Robert Tantular senilai 19,25 Juta dolar AS atau setara Rp 192,5
Miliar. Uang sebesar itu antara lain terdapat di USB AG Bank Hongkong senilai
1,8 juta dolar AS, PJK Jersey sejumlah 16,5 juta dolar AS, dan British Virgin
Island ( Inggris ) sebesar 927 ribu dolar AS. Selain itu polisisjuga menemukan
dan memblokir aset Hesham Al Warraq \talaat serta Rafat Ali Rizvi senilai Rp
11,64 triliun. Aset itu tersebar di UBS AG Bank sejumlah 3,5 juta dolar AS,
Standard Chartered Bank senilai 650 ribu dolar AS dan sejumlah SGD 4.006, di ING
Bank sebesar 388 ribu dolar AS.
c. Dalam proses hukum
bank Century, pemilik bank century Robert tantular beserta pejabat bank century
telah ditetapkan sebagai terdakwa kasus penggelapan dana nasabah. Bahkan
manajemen Bank Century telah terlibat dalam memasarkan produk reksadana PT
Antaboga Sekuritas yang jelas-jelas dalam pasal 10 UU Perbankan telah dilarang.
Prinsip the five C’s of credit analysis yang menjadi dasar pemberian dana
talangan rupanya tidak diterapkan oleh LPS. LPS harusnya meneliti Character
(kejujuran pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal),
capacity ( kemampuan mengelola bank ) dan condition of economy sebelum bailout
diberikan. Artinya dari segi the five C;s of credit analysis Bank Century
sebenarnya tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS.
Ironisnya LPS justru mengucurkan dana sampai 6,7 triliun ke bank itu.
d. Solusi untuk mengatasi bank-bank bermasalah
bukan dengan memberikan penjaminan penuh ( blanket guarantee atau bailout )
seperti yang diberikan ke Bank Century. Hal itu berdasar pengalaman krisis
keuangan 1998 yang akhirnya mengakibatkan munculnya bantuan likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) hingga Rp 600 triliun.
C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi
Di Bidang Perbankan
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime,
banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum
pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ”universitas
delinquere non potest” (korporasi tidak mungkin melakukan
tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam
hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai
suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana
(unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya
kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau
dikenal dengan ”actus non facit
reum, nisi mens sit rea”.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi
masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime.
Menurut Mardjono Reksodiputro ada
dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu,
pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan
sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut
pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan
pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi”.
Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi,
diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk
hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang
pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik
dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan
ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat
membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat
berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus
atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.
Menurut Remy Sjahdeini ada
dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of
strict liability dan ”doctrine of
vicarious liability”. Berdasarkan ajaran strict liability
pelaku tindak pidana dapat
diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan
menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan
pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A
kepada B.
Selanjutnya menurut Sudarto, memang harus
diakui, bahwa untuk sistematik dan jelasnya pengertian tentang tindak pidana
dalam arti ”keseluruhan syarat untuk adanya pidana ”(der inbegriff
dervoraussetzungen der strafe), pandangan dualistis itu memberikan manfaat.
Yang penting ialah kita harus senantiasa menyadari bahwa untuk mengenakan
pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu. Apakah syarat itu demi jelasnya
kita jadikan satu melekat padaperbuatan, atau seperti yang dilakukan oleh
Simons dan sebagainya,ataukah dipilah-pilah, ada syarat yang melekat pada
perbuatan dan ada syarat yang melekat pada orangnya seperti dikemukakan oleh
Moelyatno, itu adalah tidak prinsipiil, yang penting ialah bahwa semua syarat
yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia
ataupun peraturan lainnya, namun berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan
karena akan bertentangan dengan rasa keadilan, bila ada orang yang dijatuhi
pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah.
Karena asas utama dalam pertanggungjawaban
pidana adalah kesalahan, maka timbul permasalahan baru dengan diterimanya
korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Menurut Mardjono Reksodipuro, sehubungan
dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti
telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak
pidana (dader).
Permasalahan yang segera muncul adalah
sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi. Asas utama dalam
pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada
pelaku.
Bagaimanakah harus dikonstruksikan kesalahan
dari suatu korporasi ?. Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara
perbuatan yang melawan hukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawaban
pidana menurut hukum pidana. Perbuatan melawan hukum oleh korporasi sekarang
sudah dimungkinkan. Tetapi bagaimana mempertimbangkan tentang
pertanggungjawaban pidananya ?. Dapatkah dibayangkan pada korporasi terdapat
unsur kesalahan (baik kesengajaan atau dolus atau kealpaan
atau culpa)?. Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan
ini dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness) dan
karena itu berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku.
Bagaimana halnya dengan pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini adalah
korporasi ?.
Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi
berbuat dan bertindak melalui manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain).
Jadi pertanyaan yang pertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa
perbuatan pengurus (atau orang lain) dapat dinyatakan sebagai sebagai perbuatan
korporasi yang melawan hukum (menurut hukum pidana). Dan pertanyaan kedua
adalah bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat dinyatakan
mempunyai kesalahan dan karena itu dipertanggung-jawabkan menurut hukum pidana.
Pertanyaan ini menjadi lebih sulit apabila difahami bahwa hukum pidana
Indonesia mempunyai asas yang sangat mendasar yaitu : bahwa “tidak dapat
diberikan pidana apabila tidak ada kesalahan” (dalam arti celaan)[1]
Merujuk pada pendapat beberapa ahli tersebut
di atas, dalam menganalisis kasus bank century dalam konteks pertanggungjawaban tindak pidana korporasi di bidang perbankan,
bahwa telah terjadi tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh pemilik dan
manajemen dengan cara menggelapkan uang nasabah sehingga menimbulkan ambruknya
Bank century. Proses penggelapannya dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
Pertama, memanfaatkan produk reksa dana fiktif yang diterbitkan PT Antaboga
Delta Sekuritas Indonesia yang dijual terselubung di Bank Century. Kedua,
menyalurkan sejumlah kredit fiktif. Ketiga, menerbitkan letter of Credit ( L/C
) Fiktif. Dalam hal ini perbuatan pengurus (atau orang lain) dapat dinyatakan
sebagai sebagai perbuatan korporasi yang melawan hukum (menurut hukum pidana).
Oleh karena itu mereka dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam
system peradilan pidana sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Namun hingga saat ini kasus tersebut masih
belum jelas. Seingga pada kesempatan yang lalu, Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) berjanji akan meningkatkan status hukum kasus Bank Century dari
penyelidikan menjadi penyidikan pada tahun ini sesuai dengan rekomendasi DPR
pada rapat Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR. “KPK akan berusaha meningkatkan
status hukum kasus Bank Century dari penyelidikan menjadi penyidikan pada tahun
ini, tapi waktunya tidak bisa terlalu cepat,” kata Ketua KPK, Abraham Samad,
pada rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan pimpinan KPK di
Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/2).
Pemberian bailout atau dana talangan oleh
pemerintah kepada bank century yang membengkak hingga Rp 6,7 triliun dari
semula 1,3 triliun harus menjadi bahkan pembicaraan dan perdebatan seru. Bukan
hanyua dimedia massa dikalangan para ahli dan birokrasi pemerintah, tapi juga
departemen karena hal ini menyangkut dua aspek yaitu politik dan hukum.
Pemberian dana bailout century yang sekarang
terus diperjualkan bisa berakibat buruk terhadap bank tersebut. Dimana akan
mengurangirasa percaya nasabah pada dunia perbankan.
Kasus Bank Century mencerminkan lemahnya
pengawasan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral terhadap bank umum.
Bank-bank umumnya hendaknya mendapat pengawasan ketat dari bank Central.
Ambruknya Bank Century telah menimbulkan
dampak negative terhadap citra perbankan dan berdampak sistemik terhadap
perekonomian Indonesia jika dibiarkan berlarut-larut. Oleh karena itu KSSK
telah mengambil langkah-langkah untuk mengambil alih dan menyuntik sejumlah
dana untuk menyehatkan kembali meskipun pada akhirnya menimbulkan berbagai
masalah.
Dari kaca mata hukum, kasus bank Century telah
terdeteksi adanya pelanggaran tindak pidana oleh pemilik dan manajemen dengan
cara penggelapan dana nasabah. Oleh pendapat para ahli kegiatan ini dapat
digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan korporasi, yang dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai peraturan perundangan yang berlaku sebagai
pertanggungjawaban tindak pidana korporasi
Sumber :