PT Freeport Indonesia, perusahaan yang pernah terdaftar sebagai salah
satu perusahaan
multinasional terburuk tahun 1996, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan
ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi
lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan
menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM (salah satu berita
dapat diakses dari situs news.bbc.co.uk), dampak lingkungan serta pemiskinan rakyat
sekitar tambang.
WALHI sempat berupaya membuat laporan untuk mendapatkan gambaran
terkini mengenai dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi
pertambangan PT Freeport Indonesia. Hingga saat ini sulit sekali bagi
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai
dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidak jelasan
informasi tersebut akhirnya berbuah kepada konflik, yang sering berujung pada
kekerasan, pelanggaran HAM dan korbannya kebanyakan adalah masyarakat sekitar
tambang. Negara gagal memberikan perlindungan dan menjamin hak atas lingkungan
yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak memberikan dukungan penuh kepada
PT Freeport Indonesia, yang dibuktikan dengan pengerahan personil militer dan
pembiaran kerusakan lingkungan.
Dampak lingkungan operasi pertambangan skala besar secara kasat
mata pun sering membuat awam tercengang dan bertanya-tanya, apakah hukum
berlaku bagi pencemar yang diklaim menyumbang pendapatan Negara? Matinya Sungai
Aijkwa, Aghawagon dan Otomona, tumpukan batuan limbah tambang dan tailing yang
jika ditotal mencapai 840.000 ton dan matinya ekosistem di sekitar lokasi
pertambangan merupakan fakta kerusakan dan kematian lingkungan yang nilainya
tidak akan dapat tergantikan. Kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar
lokasi PT Freeport Indonesia juga mencerminkan kondisi pembiaran pelanggaran
hukum atas nama kepentingan ekonomi dan desakan politis yang menggambarkan
digdayanya kuasa korporasi.
Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI – Indonesian Forum for Environment) adalah forum
organisasi lingkungan hidup non-pemerintah terbesar di Indonesia dengan
perwakilan di 26 propinsi dan lebih dari 430 organisasi anggota. WALHI bekerja
membangun transformasi sosial, kedaulatan rakyat, dan keberlanjutan kehidupan.
Laporan WALHI Tentang Dampak pencemaran
Lingkungan Hidup Operasi Freeport-Rio Tinto di Papua
Laporan yang berjudul Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan
Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua adalah laporan yang menyajikan
gambaran tentang keberadaan Freeport yang independen mengenai dampak lingkungan
akibat tambang Freeport, sebuah usaha bersama Freeport McMoRan dan Rio Tinto, yang
meski merupakan salah satu tambang terbesar di dunia, beroperasi di bawah
selimut rahasia di daerah terpencil Papua.
Laporan ini memaparkan kerusakan lingkungan berat dan pelanggaran
hukum, berdasar sejumlah laporan pemantauan oleh pemerintah dan perusahaan yang
tidak diterbitkan, termasuk Pengukuran Risiko Lingkungan (Environmental Risk
Assessment, ERA) yang dipesan Freeport-Rio Tinto dan disajikan pada pemerintah
Indonesia meski tak dipublikasikan untuk umum. Dalam laporan, masalah-masalah
berikut ini dibahas, dan ditutup dengan saran untuk aksi.
Pelanggaran hukum: Temuan kunci pada laporan ini adalah
Freeport-Rio Tinto telah gagal mematuhi permintaan pemerintah untuk memperbaiki
praktik pengelolaan limbah berbahaya terlepas rentang tahun yang panjang di
mana sejumlah temuan menunjukkan perusahaan telah melanggar peraturan
lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup tak kunjung menegakkan hukum karena
Freeport-Rio Tinto memiliki pengaruh politik dan keuangan yang kuat pada
pemerintah. Begitu kuatnya sampai-sampai proposal Freeport-Rio Tinto untuk
mengelak dari standard baku mutu air sepertinya sedang dipertimbangkan.
Pemerintah secara resmi menyatakan bahwa
Freeport-Rio Tinto:
• Telah lalai dalam pengelolaan limbah batuan, bertanggung jawab
atas longsor berulang pada limbah batuan Danau Wanagon yang berujung pada
kecelakaan fatal dan keluarnya limbah beracun yang tak terkendali (2000).
• Hendaknya membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai
standar teknis legal untuk bendungan, bukan yang sesuai dengan sistem sekarang
yang menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat (2001).
• Mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah
setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan
tailing. Perusahaan diminta untuk membangun pipa tailing ke dataran rendah
(2001, 2006).
• Mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, dengan
demikian melanggar standar baku mutu air (2004, 2006).
• Membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki
surat izin limbah berbahaya, sampai pada tingkatan yang melanggar standar
limbah cair industri, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah
diperintahkan (2006).
Pelanggaran dan pencemaran lingkungan:
• Tembaga yang dihamburkan dan pencemaran: Freeport
dengan alasan mendapatkan biji tembaga mentah secepat mungkin, pengerukan dan
pembuangan dilakukan tanpa pengolahan yang bersifat penghamburan tembaga dan
pencemaran lingkungan. Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari empat
miliar ton limbah batuan akan dihasilkan dari operasi PTFI sampai penutupan
pada tahun 2040. Secara keseluruhan, Freeport-Rio
Tinto menyia-nyiakan 53.000 ton tembaga per tahun, yang dibuang ke sungai
sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan
(leachate) dan tailing. Tingkat pencemaran logam berat semacam ini sejuta kali
lebih buruk dibanding yang bisa dicapai oleh standar praktik pencegahan
pencemaran industri tambang.
• Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage): Hampir semua
limbah batuan dari tambang Grasberg sejak tahun 1980an sampai 2003 yang
berjumlah kira-kira 1.300 juta ton berpotensi membentuk asam. Limbah
batuan ini dibuang ke sejumlah tempat di sekitar Grasberg dan menghasilkan ARD
dengan tingkat keasaman tinggi mencapai rata-rata pH = 3. Kandungan tembaga
pada batuan rata-rata 4.500 gram per ton (g/t) dan eksperimen menunjukkan
bahwa sekitar 80% tembaga ini akan terbuang (leach) dalam beberapa tahun.
Bukti menunjukkan 10 pencemaran ARD dengan tingkat kandungan
tembaga sekitar 800 mg/L telah meresap ke air tanah di pegunungan tanah Papua
disekitar daerah operasi Freeport yang terbilang sangat luas.
• Teknologi yang tak layak: Erosi dari limbah batuan
mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil telah
menyebabkan sejumlah kecelakaan, satu fatal. Kestabilan gundukan limbah batuan
merupakan problema serius jangka panjang. Situs-situs penting bagi suku
Amungme telah hancur olehnya, seperti Danau Wanagon yang sudah lenyap terkubur
di bawah tempat pembuangan limbah batuan di Lembah Wanagon. Selain itu,
sejumlah danau merah muda, merah dan jingga telah hilang dan padang rumput
Carstenz saat ini didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya yang pada
akhirnya akan menjulang hingga ketinggian 270 meter, dan menutupi daerah seluas
1,35 km2.
• Pembekapan tanaman: Pengendapan tailing membekap
kelompok tanaman subur dengan menyumbat difusi oksigen ke zona akar tanaman,
sehingga tanaman mati. Proses ini telah terjadi pada sebagian bagian besar ADA,
meninggalkan tegakan mati pohon sagu dan pepohonan lain di daerah terkena
dampak. Ini juga jadi ancaman bagi populasi species terancam setempat yang
membutuhkan keragaman ekosistem hutan alam untuk bertahan hidup. Selain nilai
konservasinya, endapan tailing juga menghancurkan sungai dataran rendah yang
tinggi keragaman hayatinya, hutan hujan, dan lahan basah yang sangat vital bagi
suku Kamoro untuk berburu, mencari ikan dan berkebun.
• Tingkat racun tailing dan dampak terhadap perairan:
Sebagian besar kehidupan air tawar telah hancur akibat pencemaran dan perusakan
habitat sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing. Total Padatan
Tersuspensi (TSS) dari tailing secara langsung berbahaya bagi insang dan
telur ikan, serta organisme pemangsa, organisme yang membutuhkan sinar matahari
(photosynthetic), dan organisme yang menyaring makanannya (filter feeding).
Tembaga menghambat kerja insang ikan. Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi
peresapan biologis (bioavailability) di daerah terkena dampak operasi
Freeport-Rio Tinto menunjukkan bahwa sebagian besar tembaga larut dalam air
sungai terserap oleh mahluk hidup dan ditemukan pada tingkat beracun.
• Logam berat pada tanaman dan satwa liar:
Dibandingkan dengan tanah alami hutan, tailing Freeport mengandung tingkat
racun logam selenium (Se), timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn)
dan tembaga (Cu) yang secara signifikan lebih tinggi. Konsentrasi dari
beberapa jenis logam tersebut yang ditemukan dalam tailing melampaui acuan
US EPA dan pemerintah Australia dan juga ambang batas ilmiah phytotoxicity. Hal
ini menunjukkan kemungkinan timbulnya dampak racun pada pertumbuhan tanaman.
Pengujian dan pengambilan sampel lapangan menunjukkan bahwa tanaman yang
tubuh di tailing mengalami penumpukan logam berat pada jaringan (tissue),
menimbulkan bahaya pada mahluk hutan yang memakannya. Semua spesies hewan di
tanah Papua disekitar Freeport terkena dipastikan terkena racun yang berasal
dari logam.
• Perusakan habitat muara: Tailing sungai Freeport-Rio
Tinto akan merusak hutan bakau seluas 21 sampai 63 km2 akibat sedimentasi.
Kanal-kanal muara sudah tersumbat tailing dan dengan cepat menjadi sempit dan
dangkal. Kekeruhan air muara pun telah jauh melampaui standar yang diterapkan
di Australia, sehingga menghambat proses fotosintesa perairan.
• Kontaminasi pada rantai makanan di muara: Logam dari
tailing menyebabkan kontaminasi pada rantai makanan di Muara Ajkwa. Daerah yang
dimasuki tailing Freeport menunjukkan kandungan logam berbahaya yang secara
signifikan lebih tinggi dibanding dengan muara-muara terdekat yang tak terkena
dampak dan dijadikan acuan. Logam berbahaya tersebut adalah tembaga, arsenik,
mangan, timbal, perak dan seng. Satwa liar di daerah hutan bakau terpapar logam
berat karena mereka makan tanaman dan hewan tak bertulang belakang yang
menyerap logam berat dari endapan tailing, terutama tembaga.
• Gangguan ekologi: Freeport sempat menyatakan bahwa
“Muara di hilir daerah pengendapan tailing kami adalah ekosistem yang
berfungsi dan beraneka ragam dengan ikan dan udang yang melimpah.” Berbanding
terbalik dengan kenyataan bahwa bagian luar Muara Ajkwa, termasuk daerah pantai
Laut Arafura, mengalami penurunan jumlah hewan yang hidup dasar laut
(bottom-dwelling animals) sebesar 40% hingga 70%.
• Dampak pada Taman Nasional Lorenz: Taman Nasional
Lorenz yang terdaftar sebagai Warisan Dunia wilayahnya mengelilingi daerah
konsesi Freeport. Untuk melayani kepentingan tambang, luas taman nasional
telah dikurangi. Kawasan pinus pada situs Warisan Dunia ini terkena dampak air
tanah yang sudah tercemar buangan limbah batuan yang mengandung asam dan
tembaga dari tailing Freeport-Rio Tinto. Sementara, kawasan pesisir situs
Warisan Dunia ini juga terkena dampak pengendapan tailing. Sekitar 250 juta ton
tailing dialirkan melalui Muara Ajkwa dan masuk ke Laut Arafura.
• Regenerasi di Daerah Tumpukan Tailing: Tailing
tambang pada akhirnya akan meliputi 230 km2 daerah ADA, pada kedalaman hingga
17 meter. Daerah tailing ini kekurangan karbon organik dan gizi kunci
lainnya, dengan kapasitas menahan air yang sangat buruk. Kawasan ADA yang luas
yang telah mengalami kematian tumbuhan akibat tailing takkan pernah bisa
kembali ke komposisi species semula meski pembuangan tailing berhenti. Spesies
asli yang 13 bisa tumbuh kembali di tumpukan tailing tidaklah berguna bagi
masyarakat setempat, juga tidak bisa menggantikan keberagaman spesies asli yang
dulunya hidup di wilayah rimba asli dan hutan hujan bersungai dalam ADA yang
telah rusak.
• Transparansi: Freeport-Rio Tinto beroperasi tanpa
tranparansi atau pemantauan peraturan yang layak. Tak ada informasi atau
diskusi publik tentang pengelolaan saat ini dan masa depan di tambang. Juga tak
ada pembahasan mengenai alternatif pengelolaan limbah dan rencana
proses penutupan tambang. Terlepas dari keharusan legal untuk menyediakan
akses publik terhadap informasi terkait lingkungan, perusahaan belum pernah
mengumumkan dokumen-dokumen pentingnya, termasuk ERA. Freeport-Rio Tinto juga
tak pernah mengumumkan laporan audit eksternal independen sejak 1999. Dengan
demikian perusahaan melanggar persyaratan ijin lingkungan. ERA yang dihasilkan
meremehkan risiko lingkungan yang penting, gagal memberi pilihan untuk
mengurangi dampak pembuangan limbah, serta independensi dari para pengkaji ERA
pun patut dipertanyakan.
Sumber :