Sebuah Liputan dari Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
“Upacara seren taun adalah ungkapan syukur dan do’a masyarakat sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang.” demikian kutipan dari Visit Kuningan.
Seren taun di Cigugur tahun 2010 ini dimulai pada 24 November hingga 29 November berupa puncak acara.
Seren taun, yang dilakukan masyarakat sunda, tidak hanya dilakukan di Cigugur. Sejak kapan? Yang jelas, di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, seren taun ini sudah dilakukan sejak 175 tahun silam – seperti diwartakan di Tempo Interaktif.
Ini bukan tentang kuno, melainkan tentang warisan kearifan dan kebijaksanaan dari leluhur. Bukan pula berarti memuja tanaman, sehingga dianggap menodai agama.
Dalam sebuah jurnal MIPA Universitas Padjadjaran dari jurusan Biologi, Mathematica et Natura Acta, Vol. 3, No. 3, November 2004: 21 – 34, Johan Iskandar menulis tentang kegiatan-kegiatan masyarakat yang mendukung perlindungan ekologi (utamanya hutan) di Desa Kanekes, Banten Selatan. Kita mengenal mereka sebagai, Masyarakat Baduy. Kegiatan yang sudah dilakukan turun-temurun itu merupakan bentuk agroforestri tradisional.
Kearifan lokal juga ada dalam kosa kata “pamali” alias pantangan, yang khas ada dalam khasanah Budaya Sunda. Sebuah contoh “pamali” yang saya ambil dalam Bahasa Indonesia kira-kira berbunyi begini: jangan duduk di pintu, nanti menghalangi jodoh.
Duduk di pintu di sini, maksudnya duduk di depan pintu. Dan logika berpikirnya adalah sebagai berikut.
Jika duduk-duduk di depan pintu, apalagi sampai menggerombol alias lebih dari satu orang, bukan saja menghalangi jodoh tetapi juga menghalangi orang lewat. Sebelum jodoh terhalangi, orang yang butuh lewat pintu itu juga sudah terhalangi. Dan seperti halnya pernyataan yang populer berlaku, jodoh adalah misteri Tuhan Yang Maha Kuasa. Bisa saja, di antara orang lewat ini, ada jodoh bersembunyi. Sebab, adalah jelas, fungsi pintu sebagai tempat lewat dan lalu-lalang orang.
Kembali ke kearifan lokal dalam seren taun di Cigugur. Acara ini pun menjadi ajang pertemuan pelbagai suku bangsa, termasuk WNA yang ikut menyaksikan. Atau ajang bagi para fotografer untuk berburu foto.
Ada juga komunitas Dayak, Hindu, Budha, Bumi Segandung atau lebih dikenal dengan Dayak Indramayu. Mereka pun memiliki kearifan lokal tersendiri. Mereka memusatkan jiwa dan raga pada bentuk penyatuan diri dengan alam.
Dayak Indramayu kadang dianggap aliran sesat karena ritual yang mereka lakukan, seperti komentar kasar dalam artikel Komunitas Dayak Indramayu Berendam 30 Malam. Padahal mereka hanya bermaksud menyelaraskan diri dengan alam. Seperti tampak dalam foto, Jack – begitu ia biasa dipanggil, sehari-hari hanya mengenakan celana berwarna hitam putih dan tanpa alas kaki. Tujuannya yaitu, menerima alam sebagaimana adanya, baik cuaca panas atau pun dingin – saat hujan menggigit atau pun terik mentari menyengat.
Bagaimana dengan acara seren taun itu sendiri?
Menurut saya, serupa festival. Menyenangkan dapat menikmati kebersamaan dalam kegiatan tahunan, yang bertujuan melestarikan warisan leluhur. Warisan kesederhanaan dan kearifan, yang kadang dianggap kuno oleh kita yang merasa modern.Kemajuan peradaban tidak semata ditandai dengan akses internet yang cepat, atau bangunan pencakar langit. Alam selalu patuh pada kodratnya, manusia lah yang kerap kali merusak siklus kepatuhan alam. Terbukti dari banyaknya banjir, akibat hutan dan area resapan air yang berkurang.
Sampai kapan kita mengeluh pada alam? Padahal kita sendiri yang merusaknya?
refrensi :
http://www.twentea.com/2010/12/06/kearifan-lokal-dan-kebersamaan-dalam-seren-taun-cigugur-2010/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar